Senin, 26 Januari 2009

Diktat PAI Smt 5

BAB I

AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG TOLERANSI

QS. Al Kaafirun 1-6

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,

dan kamu tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".

QS. Yunus 40-41

Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Qur'an, dan di antaranya ada orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.

Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan".

QS. Al Kahfi : 9

Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?

BAB II

AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG ETOS KERJA

QS. Al Mujaadilah - 11

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

QS. Al Jumu’ah 9-10

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli . Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

BAB III

BERIMAN KEPADA HARI AKHIR

A. Pengertian

Hari akhir yaitu hari berakhirnya kehidupan di dunia serta seluruh makhluk.

Iman kepada hari akhir adalah meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia ini terdapat kehidupan selanjutnya yang kekal abadi sebagai tempat pembalasan terhadap setiap amal perbuatan selama hidup di dunia.

Iman kepada hari akhir termasuk rukun iman yang ke lima. Merupakan berita as sam’iyat, yaitu hal yang hanya dapat didengar saja melalui berita Rasulullah Saw.

Nama lain dari hari akhir adalah : Yaomul qiyamah, yaomul hisab, yaomuddin (pembalasan), yaomul mizan, yaomut Thamah (bencana besar).

B. Tanda-tanda beriman kepada Hari Akhir

Orang yang beriman kepada hari akhir dapat dilihat dari tanda-tanda sbb :

- Mereka akan lebih berhati-hati dalam berlaku, karena semuanya akan dipintai pertanggung jawaban di hari akhir.

- Akan lebih banyak melakukan amal yang baik, sebagai bekal di akhirat

- Akan selalu optimis dan luas harapannya, karena setelah hidup di dunia ada kehidupan lain di akhirat.

C. Hikmah beriman kepada Hari Akhir

- Sebagai pengendali nafsu angkara

- Sebagai petunjuk agar sntiasa berhati-hati

- Petunjuk jalan menuju kebenaran

- Menumbuhkan tanggung jawab

- Menumbuhkan optimis

- Mendapatkan keuntungan ganda

- Menyadarkan manusia agar jangan lupa diri di dunia

BAB IV

PERSATUAN DAN KESATUAN

A. Peduli dan Rukun Terhadap Sesama

Agama Islam mengajarkan agar umatnyansenantiasa mau peduli terhadap orang lain, tidak mementingkan diri sendiri dan atau keluarga dan kelompoknya sendiri. Sikap kasih sayang harus dimiliki oleh setiap orang, sebab itulah sikap dasar kepedulian terhadap sesame manusia.

Apalagi kita sebagai muslim harus senantiasa peduli terhadap sesame saudara seiman. Sebab kita pada hakikatnya bersaudara, kita dipersaudarakan oleh agama kita, Islam. Tidak ada perbedaan antara sesame muslim, dari manapun asalnya. Perbedaan itu terjadi hanya pada tingkat ketakwaan.

Sikap peduli terhadap sesame harus dipupuk dan dikembangkan sejak usia dini.n Sebagai seorang siswa muslim, tentunya kamu memiliki banyak teman di sekolahmu. Diantara teman-temanmu, tidak semuanya anak orang berada, melainkan banyak pula yang berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Dalam hal ini kepedulian kita yang memiliki kelebihan rezeki, dan kebetulan mempunyai orang tua berkecukupan terhadap mereka harus ditunjukkan. Terutama jika mereka sangat membutuhkan bantuan dan pertolonganmu.

B. Peduli Terhadap Persatuan dan Kebersamaan

Manusia diciptakan sebagai makhluk social, yang satu membutuhkan yang lainnya. Maka kerukunan, persatuan dan kebersamaan merupakan syarat mutlak dalam menjalankan kehidupan dimuka bumi ini. Agama Islam menganjurkan agar umatnya menjunjujng tinggi persatuan dan kebersamaan. Sebab pada kebersamaan itu terdapat kasih sayang antar sesame.

Menjaga persatuan dan kebersamaan merupakan kewajiban setiap orang, apalagi kita sebagai muslim. Menjaga persatuan dan kebersamaan adalah keharusan dalam meraih kekuatan. Perhatikan firman Allah Swt.

QS. Ali Imron 103

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Sebagai salah satu sikap peduli terhadap persatuan dan kebersamaan adalah mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri, keluarga dan kelompok. Sikap mendahulukan kepentingan orang lain merupakan sikap terpuji, selain itu juga dapat menjalin dan mempererat persatuan umat. Betapa indahnya dunia ini jika penghuninya saling menghormati, dan saling mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri.

Di dunia ini kebenaran dan kebatilan berjalan seiring, kadangbergantian waktu dan tempatnya, kadang pula bersamaan. Untuk menumpas kebatilan dan kemaksiatan, kita perlu kekuatan, dan kekuatan itu dapat terwujud jika kita ada persatuan dan kebersamaan. Kejahatan dan kejaliman yang bersatu, dapat mengalahkan kebenaran yang bercerai berai.

BAB V

HUKUM PERIKAHAN

Nikah berasal dari bahasa arab yang artinya akad atau ikatan perjanjian yang menghalalkan hubungan antara seorang lalaki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim untuk membentuk rumah tangga yang diridhoi oleh Allah swt.

Allah Swt berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 21 :

Artinya :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Thalaq

Thalaq secara bahasa berarti mengurai ikatan. Secara syari’at adalah memutus ikatan pernikahan (atas kehendak suami). Thalaq telah dikenal dan dipraktikkan oleh umat-umat terdahulu. Menurut Imam Al-Haramain (semoga Allah merahmatinya) thalaq adalah terminologi Jahiliyah yang dikukuhkan oleh Islam.

Thalaq tidak terjadi jika hanya keinginan, dan belum dilafalkan (menurut Jumhurul Ulama’)

2Tetapi menyebut kata ‘thalaq’ berati thalaq (cerai) walaupun tanpa niat.

Kata cerai terbagi dua; sharih dan kinayah.

Sharih adalah kata yang bermakna cerai dan tidak membutuhkan niat. Alqur’an menggunakan tiga kata sharih yang bermakna cerai.

Ath-Thalaq - seperti firman Allah; “Thalaq itu dua kali”. (Al-Baqarah: 229)

At-Tasrih - seperti firman Allah; “atau menceraikan dengan cara yang ma’ruf” (Al-Baqarah: 229)

Al-Mufaraqah - seperti firman Allah; “Atau lepaskanlah mereka dengan baik” (Ath-Thalaq: 2).

Kinayah adalah kata/kalimat yang mengandung makna cerai dan bukan cerai, dan dibutuhkan niat. Kata/kalimat kinayah bermakna cerai jika disertai niat, menurut Ijma’. (Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi’i, Kifayatul Akhyar 2/86 dan 84). Sewaktu Rasulullah menyuruh Ka’b bin Malik radhiyallah ‘anhu , menjauhi istrinya ia mengatakan kepada istrinya ‘ilhaqi bi ‘ahliki (kembalilah ke rumah orangtuamu). Tatkala taubatnya diterima oleh Allah (At-Taubah/19:118) Rasulullah tidak memisahkan antara keduanya. Hal ini disebabkan kalimat ‘ilhaqi bi ‘ahliki adalah kalimat/kata kinayah. (Taqiyyuddin ‘Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi’i, Kifayatul Akhyar 2/84-86).

Kata cerai tidak bisa digunakan untuk bercanda, bergurau, berkelakar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga hal sungguh-sungguhnya adalah kesungguhan dan berguraunya adalah kesungguhan; menikah, cerai dan rujuk.”(HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan ‘Ibnu Majah dishahihkan oleh Al Hakim)

Para Fuqaha’ membagi thalaq menjadi thalaq sunni dan thalaq bid’i. Thalaq sunni adalah menthalaq istri di waktu suci yang tidak dicampurinya atau mencerainya di waktu hamil. Allah berfirman, “Ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya” (At-Thalaq: 1).3 Thalaq bid’i ialah mencerai istri di waktu haidh atau ketika suci yang dicampuri. Ketika ‘Ibnu ‘Umar radhiyallah ‘anhu menceraikan istrinya di waktu haidh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk : merujukinya, menunggunya hingga suci, dan haidh lagi. Setelah suci merujukinya jika ia menginginkan, atau menceraikannya sebelum ia mencampurinya (Muttafaqun ‘alaih).

Sedangkan menthalaq istri yang telah meraih usia ‘ayisah (monopause), yang belum haidh (shaghirah) atau yang belum dicampuri semenjak menikah tidak termasuk dalam kategori thalaq sunni atau thalaq bid’i.

Pada masa awal-awal Islam seorang suami berhak merujuki istrinya sekalipun menthalaqnya seratus kali selagi pada masa ‘iddah. Islam membolehkan merujuki istri hanya terbatas dua kali thalaq. Pada thalaq kali ketiganya suami tidak boleh merujukinya kembali kecuali jika si bekas istrinya telah menikah dengan pria lain. “Jika sisuami mencerainya (sesudah thalaq kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia kawin dengan suami (pria) lain.” (Al-Baqarah: 230). Pernikahan antara bekas istri yang telah dithalaq tiga kali bukan hanya sekedar aqad tetapi keduanya harus saling telah merasai.

Bekas istri Rifa’ah yang telah dithalaq tiga kali, dinikahi oleh ‘Abdurrahman bin Az Zubair radhiyallah ‘anhu seorang pria yang tidak berfungsi kelelakiannya. “Kamu ingin kembali kepada Rifa’ah? tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”Tidak boleh, kamu harus merasai madunya, dan ia harus pula merasai madumu”. (HR. Asy Syafi’i, ‘Abdurrazzaq, ‘Ibnu ‘Abi Syaibah, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i. ‘Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari ‘A’isyah - semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua). Bahkan agama melarang orang yang melakukan pernikahan dengan niat hanya untuk menghalalkan bagi sisuami pertama.

‘Iddah

‘Iddah adalah masa tunggu, masa belum boleh menikah dengan pria lain bagi wanita yang berpisah dengan suami. Pada masa ‘iddah wanita dilarang meninggalkan rumah, dan bagi suami dilarang pula mengeluarkannya dari rumah. Allah berfirman; “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan yang keji” (Ath-Thalaq: 1). Pada potongan ayat selanjutnya Allah menjelaskan hikmah yang dapat diraih dari larangan tersebut. “Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru (keinginan untuk rujuk kembali)”. (Ath-Thalaq: 1). Masa ‘iddah adalah masa dibolehkan bagi suami untuk merujuk istrinya. Suami mempunyai hak merujuki istrinya, jika ia menghendaki ishlah. “Dan suami-siaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah” (Al Baqarah: 228). Rujuk mewajibkan untuk dipersaksikan oleh dua orang yang adil. “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”. (Ath-Thalaq: 2). Merujuki istri yang telah berlalu masa ‘iddahnya harus dengan aqad nikah yang baru dan sesuai persyaratan-persyaratan nikah yang ada.

Bilangan ‘Iddah

‘Iddah bagi wanita yang dicerai hidup atau mati adalah;

Thalaq yang telah dicampuri

Thalaq bagi wanita yang telah dicampuri dan masih mendapatkan haidh (menstruasi) maka ‘iddahnya adalah menuggu selama tiga quru’. Allah berfirman; “Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menungggu) tiga kali quru’. (Al Baqarah: 228). Quru asal maknanya waktu. Quru’ dapat berarti masa haidh -menurut ‘Umar, ‘Ali, ‘Ibnu Mas’ud, ‘Abu Musa, Mujahid, Qatadah, Adh Dhahhaq, ‘Ikrimah, As-Sudi ,Ahmad bin Muham-mad bin Hanbal dan ‘ahlulkufah,- atau masa suci -menurut ‘A’isyah, ‘Ibnu ‘Umar, Zaid bin Tsabit, Az-Zuhri, ‘Aban bin ‘Utsman, Asy-Syafi’i dan ahlulhijaz- (semoga Allah meridhai mereka semua).

Perempuan-perempuan yang telah dicampuri tetapi tidak haidh lagi atau perempuan-perempuan yang tidak haidh sama sekali masa iddahnya adalah tiga bulan. Allah berfirman; “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempunmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya maka iddah mereka adalah tiga bulan ; dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid. (Ath Thalaq/65:4)

Thalaq yang belum dicampuri

Wanita yang belum dicampuri tidak memiliki masa ‘iddah. Allah berfirman, artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mecampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (Al-Ahzab: 49).

Thalaq wanita hamil

Wanita hamil masa ‘iddahnya sampai ia melahirkan. Allah berfirman; “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.(Ath Thalaq: 4)

Nafkah dan Mut’ah

Suami yang menthalaq istrinya berkewajiban untuk memberikan mut’ah (pemberian) kepadanya. “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa” (Al-Baqarah: 241).

Ukuran pemberian mut’ah adalah menurut kepatutan yang berlaku di masyarakat dan sesuai dengan kondisi ekonomi sisuami. “Orang yang mampu menurut kemampuannya (memberi mut’ah siistri), dan orang yang miskin menurut kemapuannya (pula)” (Al Baqarah/2:236). Nafkah istri yang diceraikan selama masa ‘iddah menjadi tanggung jawab suami. Istri yang dithalaq dalam keadaan hamil diberikan nafkah hingga melahirkan. “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalain” (Ath-Thalaq: 6).

Pemberian nafkah sesuai pula dengan kemampuan suami. “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuan-nya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (Ath-Thalaq: 7). Wallahu ‘a’lam.(Asri Ibnu Tsani)

BAB VI

PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

Ketika Islam masuk ke Indonesia, penduduk wilayah nusantara pada umumnya telah menganut berbagai kepercayaan yang berkembang pada saat itu, misalnya animism, dinamisme, hindu, budha dsb. Agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 M, langsung dari tanah arab dan dibawa oleh para sudagar muslim melalui berbagai jalur perjalanan. Pada mulanya para saudagar yang dating ke tanah air bukan orang-orang yang ahli agama. Namun setelah banyak penganutnya para saudagar itu sengaja mendatangkan para da’I dan ulama ke bumi Indonesia untuk melakukan dakwah Islamiyah.

Wilayah Nusantara yang pertama kali di singgahi ajaran Islam adalah Barus dan Pasai, yang kemudian menjadi sebuah kerajaan Islam pada tahun 1205.

Jalur perkembangan islam di Indonesia, seiring dengan perjalanan dakwah para mubaligh muslim yang menyebarkan agama tersebut. Wilayah-wilayah yang mereka singgahi pertama kali antara lain :

1. Pariaman di Sumatera Barat

2. Gresik dan Tuban di Jawa Timur

3. Demak di Jawa Tengah

4. Banten di Jawa Barat

5. Palembang di Sumatera Selatan

6. Banjar di Kalimantan

7. Makasar di Sulawesi Selatan

8. Ternate, Tidore, Bacau, jaulodo Di Kepulauan Maluku Utara

9. Sorong di Papua.

Di wilayah-wilayah itulah Islam mulai berkembang ke seluruh nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Agama islam dapat berkembang subur di Indonesia, berkat peranan para ulama dan mubaligh muslim sejak tempo dulu sampai saat ini.

Begitu pula setelah Indonesia merdeka, sejak diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, para ulama tetap setia mengawal akidah dan ajaran agama Islam bangsa ini, untuk mendukung dan mensukseskan program pembangunan. Ebab mereka tidak hanya dibidang agama, tetapi juga berperan sebagai pemimpin non formal bagi masyarakat sekitarnya.

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Sebelum datangnya para penjajah, baik Portugis, Belanda maupun Jepang, bangsa Indonesia sebenarnya telah mengalami kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama Islam. Banyak ulama dan ilmuwan muslim yang telah menulis buku-buku dan kitab-kitab ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu fiqh, tafsir, akhlak, dan tauhid.

PERKEMBANGANKEBUDAYAAN

Pada masa kerajaan-kerajaan islam Nusantara nasih jaya, perkembangan seni budaya islam juga mengalami kemajuan yang cukup berarti, terutama seni bangunan, arsitektur, kisalnya yang terdapat pada bangunan masjid dan bangunan keratin bekas istana kerajaan.

Selain itu, sejarah telah mencatat bahwa pengaruh Islam dalam bidang kebudayaan sangat besar. Hampir diseluruh peloksok, dimana Islam berkembang tentu punya pengaruh yang tidak kecil bagi kebudayaan setempat. Banyak unsure kebudayaan yang diberi corak Islam, seperti yang dijelaskan berikut :

1. Seni kaligrafi

2. Seni Tari

3. Seni Wayang

4. Seni Suara

5. Seni baca al qur’an

PERANAN UMAT ISLAM DALAM KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA

Peranan umat dalam kehidupan berbangsa telah dibuktikan dalam sejarah. Pada jaman penjajahan dahulu, para ulama telah berhasil menjaga bangsa Indonesia dari pengfaruh-pengaruh buruk yang sengaja ditularkan oleh bangsa penjajah.

Pada saat Indonesia merdeka peranan umat Islam semakin terasa. Bahkan pemerintah kita sangat mengharapkan peranan aktif para ulama dalam mensukseskan pembangunan di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar