Selasa, 27 Januari 2009

REORIENTASI MAKNA PENDIDIKAN PESANTREN BAGI PEMBENTUKAN KARAKTER KEILMUAN DAN KEISLAMAN SANTRI

Cetak Pdf RSS
1. Tujuan Pendidikan Islam
Banyak sekali pemikir Islam yang merumuskan konsep tentang tujuan pendidikan Islam. Al Qabisi (936-1012 M) menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.Tujuan umumnya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. Selain itu al Qabisi juga menghendaki tujuan pendidikan yang mengarahkan anak agar dapat memiliki ketrampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuannya mencari nafkah.


Ibnu Taimiyah (1263-1328M) membagi tujuan pendidikan Islam kedalam tiga bagian : tujuan individual, tujuan sosial dan tujuan da'wah Islamiyah. Tujuan individual ialah terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seseorang yang berpikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu, sejalan dengan apa yang diperintahkan al Qur'an dan as Sunnah. Menurut Ibnu Taimiyah, pribadi muslim yang baik adalah yang sempurna kepribadiannya, yaitu yang lurus jalan pikiran serta jiwanya, bersih keyakinannya, kuat jiwanya, sanggup melaksanakan segala perintah agama dengan jelas dan sempurna. Tujuan pendidikan juga harus bersifat sosial, diarahkan pada terciptanya masyarakat yang baik, sejalan dengan ketentuan al Qur'an dan as Sunnah. Tujuan ketiga yang harus dicapai pendidikan adalah mengarahkan ummat agar siap dan mampu memikul tugas da'wah Islamiyah keseluruh dunia.
Menurut Prof Moh Athiya al Abrasyi, tujuan umum pendidikan Islam yang asasi ialah : membentuk akhlak mulia, persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rezeki dan memelihara kemanfaatan, menumbuhkan sifat ilmiah kepada pelajar, menyiapkan pelajar kearah profesionalisme.
KH Imam Zarkasyi dari Pesantren Gontor memandang bahwa yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan juga jiwanya. Beliau merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang dinamakan Panca Jiwa Pesantren, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri (self help), ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas.


2. Perkembangan pesantren : keberadaan dan mutu
Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Pesantren bersifat mandiri dan maju walau pun tidak dibantu oleh pemerintah Belanda. Hal itu karena pendidikan adalah bagian utama dari penyebaran Islam. Sumbangsihnya terhadap pembentukan bangsa amat besar, dalam mencapai kemerdekaan dan mencerdaskan bangsa.
Pada awalnya, pesantren menggunakan metode non-klassikal. Lembaga pertama yang menerapkan sistem klasikal didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di Padang, Sumatra Barat. Pada tahun 1915, madrasah itu beralih menjadi HIS Adabiyah yang masih mengajarkan kajian keislaman. Pada tahun 1925, Muhammadiyah Muhammadiyah sudah mempunyai 8 HIS, 1 sekolah guru dan 32 sekolah dasar, 1 sekolah schakel dan 14 madrasah, selanjutnya pada medio 1930-an Pesantren Tebuireng mulai eksperimen kelas khusus.
Pesantren yang sudah mempunyai madrasah yang memberi pendidikan umum, di banyak tempat menjadi ujung tombak pendidikan. Saat ini masih banyak tempat, terutama di pedalaman dimana pesantren yang mempunyai MI, MTs, SMP, MA dan SMA, menjadi lembaga pendidikan satu-satunya dalam radius yang cukup jauh. Mutu pendidikan pesantren umumnya tersebut kurang memadai. Akan lebih baik apabila pemerintah tidak mendirikan sekolah didekat situ dan membiarkan pesantren itu tetap tertinggal. Seharusnya pemerintah membantu sepenuhnya pesantren itu supaya mutunya meningkat.
Saat ini ada sekitar 15.000 pesantren dan sekitar 40.000 madrasah (termasuk yang ada didalam pesantren) yang tersebar di seluruh Indonesia. Data 2007 menunjukkan bahwa terdapat 23.517 Madrasah Ibtidaiyah, 93% adalah milik swasta. Madrasah Tsanawiyah berjumlah 12.054, 90% adalah milik swasta. Madrasah Aliyah berjumlah 4.687, 86% adalah milik swasta. Sebagai perbandingan, Sekolah Dasar yang dimiliki swasta hanya 6%. Kondisi fisik dan mutu madrasah swasta itu kebanyakan tidak memuaskan.
Yang menggembirakan ialah bahwa kini ada sejumlah yang cukup banyak, tetapi secara prosentase amat kecil, sekolah Islam yang baik dan berusaha keras untuk menghasilkan mutu yang bertaraf internasional. Mutu pengajarannya baik dan juga pendidikannya. Pembinaan budi pekerti dan karakter siswa mendapat perhatian yang besar. Sekolah semacam itu biayanya mahal, tetapi karena memang ada segmen masyarakat masyarakat yang membutuhkan, maka kebutuhan akan sekolah semacam itu masih belum sepenuhnya terpenuhi. Yang bisa menjadi siswa sekolah semacam itu harus melalui tes angka NEM dan juga psiko tes.
Mutu sebagian besar sekolah swasta tidak baik. Mutu sebagian sekolah negeri juga tidak baik, khususnya di pedalaman. Fakta adanya kerja sama guru untuk membantu murid bisa lulus UAN adalah indikator yang amat kuat. Mutu pendidikan tidak akan baik kalau mutu dan kesejahteraan gurunya tidak baik. Maka pelatihan guru (sekolah negeri dan sekolah swasta) secara berkelanjutan adalah suatu syarat yang tidak bisa ditawar.
Data jumlah guru 2005/2006 menunjukkan bahwa jumlah guru ada sekitar 2,8 juta dan jumlah guru swasta hampir mencapai 1 juta. Rinciannya adalah sebagai berikut.
Jumlah PNS Swasta
TK/RA 174,429 2.860 171.869
SLB 10.154 2.666 7.488
SD 1.250.032 1.157.530 92.502
MI 204.774 19.351 185.423
SMP 488.206 356.830 131.376
MTs 179.809 29.290 150.519
SMA 227.433 141.508 85.925
MA 92.723 21.373 71.450
SMK 155.761 57.102 98.65 9

Sejumlah data diatas menunjukkan bahwa pendidikan oleh lembaga swasta terutama Islam amat sedikit mendapat bantuan pemerintah dan diperlakukan sebagai anak tiri. Diharapkan dengan peningkatan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari RAPBN, lembaga pendidikan swasta, dimana sebagian besar adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam, akan mendapat perhatian pemerintah. Hak atas pendidikan yang baik tidak hanya dipunyai oleh siswa sekolah negeri tetapi juga oleh sekolah swasta.
Rencana menaikkan gaji guru menjadi minimal Rp 2 juta/bulan, ternyata hanya berlaku untuk guru PNS. Seharusnya guru swasta juga mendapat bantuan dari pemerintah separuh dari gaji minimal itu atau sekitar rp 1.000.000/bulan. Untuk itu pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar 1 juta guru X Rp 1 juta X 12 bulan = Rp. 12 trilyun. Pemerintah juga mengeluarkan biaya untuk melatih para guru swasta itu, supaya mereka juga mendapatkan pendidikan bermutu. Kalau tidak, maka 40.000 madrasah X 300 siswa (rata-rata) = 1.200.000 siswa akan mendapat perlakuan diskriminatif. Belum lagi kita hitung sekolah siswa sekolah umum swasta.
Kalau kebijakan ini tidak dilakukan, maka jangan harap semua SDM bangsa Indonesia akan sanggup bersaing dengan bangsa lain. Praktek guru membantu murid dalam UAN sulit untuk diberantas. Kalau kebijakan itu dilakukan, maka anggaran 20% belum tentu cukup. Yang lebih tepat memang memakai ratio anggaran pendidikan terhadap PDB.

3. Dikotomi Ilmu Agama dan Ilmu Umum.
Al Qur’an dan as Sunnah tidak mengenal adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal itu dapat dipahami dari uraian berikut. Pertama, didalam ajaran Islam setiap penganutnya dianjurkan agar meraih kebahagiaan hidup yang seimbang antara dunia dan akhirat. QS al Baqarah ayat 201 menyebutkan : ”Dan diantara mereka ada orang yang betrdoa : Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari api neraka”.
Rasulullah dawuh : ”Bekerjalah untuk mencapai mencapai kebahagiaan hidupmu didunia seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk mencapai kebahagiaan hidupmu di akhirat seolah-olah engkau akan meninggalkan dunia besok pagi” (HR Ibn Asakir).
Hadis lain (HR Ibn Asakir, tetapi ada yang mengatakan bahwa ini adalah ucapan Imam Syafii) : ”Barang siapa menghendaki kebahagiaan di dunia hatuslah dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat haruslah dengan ilmu dan barang siapa menghendaki keduanya haruslah dengan ilmu”
Ilmu Allah tidak terhingga. Ayat-ayat Allah diturunkan berupa kitab suci termasuk al Qur’an, berupa alam semesta (dengan segala hukum yang ada didalamnya) dan juga berupa manusia. Al Qur’an juga banyak berisi ayat-ayat yang memberi petunjuk tentang berbagai fenomena alam yang baru akan bisa dibuktikan sekian ratus tahun kemudian.
Jelas dari uraian diatas bahwa menurut pandangan al Qur’an dan as Sunnah, tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum. Tetapi dilihat dari sifat dan jenisnya, sulit dihindari adanya paradigma ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, atau paling tidak paradigma tersebut dapat dipakai untuk kepentingan teknis membedakan ilmu agama dan ilmu umum.
Berdasarkan banyak ayat jelas terlihat bahwa al Qur’an amat banyak berbicara tentang berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi al Qur’an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan, karena berbagai isyarat itu belum disusun berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan. Yang dikemukakan dalam al Qur’an lebih pada prinsip-prinsip, spirit serta kaidah dalam mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan tersebut.

Walaupun al Qur’an dan as Sunnah memberikan arahan seperti diatas, didalam kenyataan yang kita lihat maka terdapat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum (ilmu dunia). Keadaan ini di dunia internasional sudah berjalan ratusan tahun dan di Indonesia telah berjalan sejak awal pembentukan bangsa Indonesia.
Sejak kerajaan Islam di Eropa jatuh pada 1492, maka dunia Islam mengalami kemunduran. Selama berabad-abad dunia Islam berada dibawah kekuasaan imperialisme Barat. Bahkan sekarang negara-negara mayoritas muslim berada dibawah negara Barat, Jepang, China, India, Korsel, Brasil. Dalam kondisi seperti itu, tentu tidak mudah bagi dunia Islam untuk menolak pengaruh Barat termasuk diwilayah budaya dan pendidikan. Pemikiran Barat memang memisahkan secara tajam dan tegas antara dunia dan agama. Kajian keilmuan harus dipisahkan dari kajian keagamaan. Pemikiran seperti ini sudah diikuti oleh sejumlah ilmuwan di dunia Islam termasuk Indonesia.
Faktor lain yang dianggap memicu dikotomi ilmu agama dan ilmu umum adalah modernisasi.Menurut Akbar S Ahmed (1992), modernisasi muncul sebagai suatu perpaduan antara teknikisme dan nasionalisme. Ziauddin Sardar mengutip pernyataan Zaki Badawi bahwa salah satu penyebab dikotomi sistem pendidikan Islam ialah diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bagi mereka, yang penting ialah kemajuan, bukan agama. Maka kajian agama dibatasi bidangnya, hanya membicarakan hubungan individu dengan Tuhannya. Lainnya bukan urusan agama.
Menurut A.M. Saefudin, dampak dari dikotomi itu ialah sebagai berikut. Pertama, munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam. Dirasakan masih adanya ”kekurangan” dalam program pendidikan yang diterapkan. Misalnya, dalam bidang muamalah (ibadah dalam arti luas) yang mencakup penguasaan berbagai disiplin ilmu dan ketrampilan, terdapat anggapan bahwa seolah semua itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan khusus sistem pendidikan sekuler.
Sistem madrasah formal telah membagi porsi materi pendidikan Islam dan porsi materi pendidikan umum dalam prosentase tertentu. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam. Namun ironisnya juga tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada akhirnya, pendidikan Islam di sekolah dan perguruan tinggi umum diketahui sebagai materi pelengkap yang menempel bagi pencapaian orientasi pendidikan sekuler.
Kedua, kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang masih bersifat dikotomis, jelas bertentangan konsep ajaran Islam sendiri. Islam memiliki ajaran integralistik, bahwa urusan dunia tidak terpisah dengan urusan akhirat.
Ketiga, disintegrasi sistem pendidikan Islam. Hingga saat ini boleh dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan kurang terjadi perpaduan. Kenyataan ini diperburuk oleh ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama di sekolah umum.
Keempat, inferioritas para pengasuh lembaga pendidikan Islam. Usaha untuk menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan Islam, sebagaimana pendidikan umum, masih sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan Barat sebagai tolok ukur kemajuan. Dalam kenyataannya, cara pandang semacam ini senantiasa memunculkan pendekatan dengan suatu hipotesis defisit. Sistem pendidikan Islam selalu dipandang sebagai sosok terbelakang.

4. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Pada tahun 1977, konferensi muslim dunia pertama mengenai pendidikan muslim mengajukan salah satu usaha untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan yang ada di seluruh dunia muslim. Diputuskan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah perlu segera dirumuskan sistem terpadu bidang keilmuan. Semua cabang ilmu harus diintegrasikan dengan ajaran-ajaran Islam, karena pendidikan Barat dianggap hanya dapat mengembangkan peradaban masterialistik belaka.
Ziauddin Sardar memberikan solusi untuk menghi langkan dikotomi itu yakni dengan cara meletakkan epistemologi dan teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar. Menurutnya, untuk menghilangkan sistem pendidikan dikotomis di dunia Islam perlu dilakukan usaha -usaha berikut : Pertama, dari segi epistemologis, umat Islam harus berani mengembangkan kerangka pengetahuan masa kini yang terartikulasi sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang dirancang harus aplikatif, tidak sekedar "memenara gading" saja. Kerangka pengetahuan di maksud setidaknya dapat menggambarkan metode-metode dan pendekatan yang tepat, yang nantinya dapat membantu para pakar muslim dalam mengatasi masalah-masalah moral dan etika yang sangat dominan dimasa sekarang.
Kedua, perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan teknologi yang menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode aktivitas ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan dunia dan mencerminkan nilai dan norma budaya Muslim.
Ketiga, perlu diciptakan teori-teori sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem modern. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu kepada konsep ajaran Islam, misalnya konsep tazkiah al-nafs, tauhid dsb.
Disamping Sardar, ada lagi beberapa tokoh yang mengemukakan konsep solusi, seperti al Faruqi, Amrullah Ahmad. Tampaknya metode penyelesaian dikotomi yang ditawarkan itu bersifat mendasar, oleh karenanya membutuhkan waktu cukup lama. Ada baiknya kita melihat realitas yang ada di tanah air, khususnya yang tidak hanya berupa konsep semata tetapi sudah diterap kan.
Upaya integrasi ilmu agama dan ilmu umum tidak bisa diukur dengan prosentase alokasi waktu yang disediakan untuk pengajaran ilmu agama dan ilmu umum itu. Ada yang mengatakan bahwa kita harus memberikan pendidikan 100% agama dan 100% umum. Kondisi itu menuntut jumlah tahun belajar yang lebih lama.
Menurut hemat saya, yang diperlukan ialah dipahaminya dan diterimanya paradigma dan wawasan yang tidak mempertentangkan ilmu agama dan ilmu umum dan tumbuhnya perhatian yang lebih besar terhadap ilmu umum didalam kalangan pesantren, khususnya sains. Dengan itu, diharapkan muncul kesadaran untuk melakukan upaya peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran -baik ilmu agama mau pun ilmu umum- dengan menggunakan bench-marking sekolah yang bermutu, secara bertahap, mulai taraf regional lalu taraf nasional. Taraf internasional pada masa depan dapat dicapai oleh pesantren dan sekolah-sekolah tertentu yang punya potensi dan memang serius untuk berjuang mencapainya.
Tetapi menumbuhkan pemahaman dan kesadaran kedalam diri para ulama pimpinan pesantren bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidak perlu dipertentangkan dan sama utamanya didalam pandangan agama Islam, bukanlah hal yang mudah dan memerlukan waktu. Para kyai itu kebanyakan memang tidak menentang pendapat itu, tetapi dalam kenyataannya saya ragu kalau mereka menjadikan pendapat itu sebagai landasan bagi upaya pengembangan pesantren mereka. Menurut saya perlu waktu lama untuk menumbuhkan kesadaran semacam itu dan kita tahu kesadaran tidak bisa dipaksakan. Artinya kita harus sabar dan terus menerus mencoba untuk menanamkan kesadaran itu.
Sejumlah SMA berasrama seperti SMA Insan Cendekia dll adalah jenis baru dari “pesantren” yang tumbuh belum terlalu lama. SMA itu lebih menitikberatkan pada pengajaran ilmu umum (non-agama) yang bermutu, sedangkan pendidikan agama difungsikan sebagai penanaman nilai dalam upaya pembentukan karakter atau akhlak mulia. Hasil pendidikan semacam ini perlu dipantau terus menerus selama waktu yang lama (mungkin sampai 20 tahun) untuk mengetahui rekam jejak dari para alumninya. Apakah mereka menjadi insan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah diterapkan.
Saya tidak tahu apakah pemantauan seperti itu telah dilakukan oleh SMA tersebut, yang sudah menghasilkan cukup banyak alumni. Saya pernah membaca bahwa ada suatu rekam jejak dalam rangka kajian di sebuah universitas di AS tentang kecerdasan emosional terhadap anak-anak yang menjadi obyek penelitian. Rekam jejak itu dilakukan sampai mereka terjun di masyarakat, jadi sampai rentang waktu lebih dari 30 tahun.
Apa yang dilakukan oleh UIN Malang dengan mendirikan pesantren mahasiswa yang diwajibkan bagi seluruh mahasiswa tingkat 1 dan tingkat 2 adalah langkah strategis yang efektif untuk menanamkan kesadaran itu. Tetapi perlu disadari bahwa upaya ini adalah sutu eksperimen yang tentu membutuhkan waktu cukup lama untuk mengetahui hasilnya. Dan tentu akan ada suatu proses evaluasi yang hasilnya akan dipergunakan sebagai umpan-balik untuk memperbaiki. Kita patut berharap alumni UIN Malang yang pernah merasakan menjadi santri di Pesantren UIN Malang bisa menyadari pentingnya dan strategisnya upaya rintisan tersebut. Kita juga berharap sebagian besar dari mereka bisa menjadi penyebar virus kemajuan ini keberbagai tempat untuk menanamkan kesadaran semacam itu. Rekam jejak terhadap sejumlah mahasiswa dengan kriteria tertentu sampai mereka terjun ke tengah masyarakat, perlu dilakukan.
Pesantren Tebuireng pernah menjadi pesantren terkemuka di Indonesia pada tahun 1930-an sampai tahun 1960-an atau 1970-an. Mendirikan Madrasah Tsanawiyah pada tahun 1953 dan Madrasah Aliyah pada tahun 1962. Tahun 1975 mendirikan SMP dan SMA. Dulu M Ts dan MA Tebuireng mutunya baik. Kini, seperti madrasah serta sekolah umum yang bernaung di bawah kebanyakan pesantren, Pesantren Tebuireng mempunyai SMP dan M Ts serta SMA dan MA, hanya berbeda prosentase dari ilmu agama dan ilmu umum yang diajarkan. Tetapi integrasi ilmu agama dan ilmu umum menurut saya belum terjadi.
Harus berani mengakui bahwa mutu pendidikan di Tebuireng amat menurun dibanding sekian puluh tahun lalu, baik didalam pengajiannya maupun pendidikan formalnya. Saya kuatir hal yang sama juga terjadi di kebanyakan pesantren, kecuali pesantren tertentu yang masih memegang teguh tradisi pesantren tradisional dan tidak mendirikan sekolah umum. Tetapi kita perlu menyadari bahwa pesantren tidak bisa menutup diri dari perkembangan, apalagi yang telah mendirikan sekolah formal, baik sekolah agama maupun sekolah umum.
Dengan mengacu kepada tujuan pendidikan Islam dan tinjauan normatif teologis tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum, serta perjalanan kesejarahan Pesantren Tebuireng, maka kami memutuskan untuk pada tahun 2008 mendirikan pendidikan keagamaan berbentuk madrasah enam tahun yang menampung tamatan SD/MI, yang kami namakan Madrasah Mu’allimin. Madrasah itu mengajarkan ilmu agama saja kecuali Bahasa Inggeris, Bahasa Indonesia. Untuk memberi pengetahuan umum, akan diberikan semacam studium generale.
Lembaga pendidikan umum, SMP dan SMA akan ditingkatkan mutunya dengan memberikan pelatihan berkelanjutan terhadap para guru, baik cara mengajar, penguasaan materi mata pelajaran, maupun pembentukan sikap. Upaya peningkatan mutu dilakukan dengan target waktu enam tahun untuk menjadi salah satu sekolah tergolong terbaik di Jawa Timur. Di Tebuireng dibentuk Unit Penjaminan Mutu Pendidikan dan dibantu oleh konsultan pendidikan. Pendidikan agama lebih ditekankan pada pembentukan budi pekerti/akhlak serta pembentukan pribadi anak yang percaya diri, bertanggungjawab, tidak mudah menyerah, berpikir positif, optimis dan pandai berkomunikasi. Menurut kami, program seperti itu adalah wujud pendidikan yang mengandung komponen 100% pendidikan agama dan 100% pendidikan umum.
Tentunya mudah dipahami bahwa pendidikan sampai tingkat menengah tidak mungkin menghasilkan pribadi yang matang, baru setengah matang. Oleh karena itu, siswa yangdihasilkan oleh ”pesantren” Insan Cendekia dan sejenisnya, masih bisa berubah paradigmanya kalau melanjutkan ke universitas atau perguruan tinggi yang tidak sama paradigmanya.
Masalah pendidikan Islam di Indonesia bukan hanya dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum, tetapi juga adanya jurang yang dalam antara pendidikan agama, di pesantren, madrasah dan di perguruan tinggi, dengan kenyataan hidup didalam masyarakat. Pendidikan Islam tidak tampak hasilnya didalam kehidupan. Masyarakat kita bukanlah masyarakat yang mempunyai mutual trust tinggi atau low-trust society. Perilaku tamatan pesantren, madrasah atau perguruan tinggi Islam atau yang belajar ilmu keislaman, tidak lebih baik dibanding tamatan sekolah atau pergguruan tinggi umum.
Pemimpin kita di jaman dahulu banyak yang membanggakan diri bahwa mereka punya etika dalam berpolitik karena mereka adalah hasil pendidikan Belanda. Tetapi pemimpin Islam hasil pesantren jaman dahulu juga mempunyai etika yang tinggi. Jadi masalahnya memang perkembangan masyarakat kita telah membuat kejujuran dan rasa saling percaya kian menjadi barang mewah didalam masyarakat kita.

5. Catatan Akhir
Dari uraian singkat diatas, dapat kita buat beberapa catatan seperti berikut. Pertama, negeri berpenduduk mayoritas Islam tertinggal dibelakang negara-negara Barat, negara berpenduduk dengan agama Shinto dan sejenisnya (Jepang, Korea, China), negara berpenduduk dengan agama Hindu (India), negara Amerika Latin (Brazil). Kedua, ketertinggalan itu karena kebanyakan umat Islam mengabaikan pendidikan ilmu umum (ilmu dunia). Mempelajari Ilmu agama dianggap lebih utama dibanding mempelajari ilmu umum. Padahal al Qur’an dan as Sunnah tidak berpendapat seperti itu. Kesadaran semacam itu belum menjadi kesadaran bersama khususnya dikalangan pesantren.
Ketiga, sudah ada beberapa SMA berasrama seperti Bina Insan Cendekia yang mulai meningkatkan minat dan mutu pendidikan umum dan menanamkan kesadaran diatas kepada siswa serta membentuk pribadi yang berakhlak dan unggul. Tetapi jumlah sekolah semacam itu masih amat sedikit dan harus ada upaya percepatan untuk meningkatkan jumlah sekolah semacam itu. Harus ada target capaian, satu sekolah setiap propinsi dalam sekian tahun, satu sekolah setiap kota kabupaten dalam sekian tahun. Tetapi target itu harus realistis, tidak boleh muluk-muluk. Mutu pendidikan harus dijadikan patokan, tidak boleh dilonggarkan.
Keempat, pendidikan tingkat menengah seperti diatas harus diikuti dengan pendidikan tinggi yang paradigmanya sama. Pendidikan semacam itu juga amat sedikit. Yang mewujudkannya dalam bentuk pendidikan pesantren, hanya ada di UIN Malang. Sama dengan diatas, harus ada upaya serius untuk meningkatkan jumlah maupun mutunya. Pemantauan terhadap para alumni dalam jangka waktu lama perlu dilakukan untuk mendapatkan umpan-balik yang amat dibutuhkan.
Kelima, harus diperjuangkan adanya alokasi dana yang cukup dari APBN untuk pengembangan pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum. Perlu diyakinkan bahwa harus diakhiri kebijakan menganaktirikan pendidikan oleh lembaga pendidikan swasta Islam.
Keenam, kita harus bersama-sama berjuang memperbaiki pendidikan agama (bukan pengajaran) sehingga dapat menghadirkan insan yang berakhlak mulia. Pendidikan kejujuran, menghargai hak orang lain dan menghormati keyakinan orang lain serta sesama agama tetapi dari kelompok lain, harus ditanamkan sejak dini.

Tebuireng, 12 September 2008


Kepustakaan :
Paradigma Pendidikan Islam,
Editor : Ismail SM, Nurul Huda, Abdul Kholiq.
Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. 2001.
Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum,
Prof Dr. H. Abudin Nata M.A.; Prof Dr Suwito, MA; Prof Dr Masykuri Abdillah, MA;
Prof Dr Armai Arief, MA.
PT Raja Grafindo Persada Jakarta, 2005.
Sejarah Peradaban Islam di Indonesia
Editor : Mundzirin Yusuf Yusuf dkk.
Penerbit Pustaka Yogyakarta, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar